Showing posts with label Catatan. Show all posts
Showing posts with label Catatan. Show all posts

8.8.18

Tentang Kuliah Pascasarjana

Ngomong-ngomong tentang kuliah pascasarjana atau magister atau kuliah S2, sekarang sudah bukan hal luar biasa ya melanjutkan kuliah sampai setingkat magister, yaa walaupun berkesempatan untuk meraih pendidikan tinggi juga bukan hal yang seharusnya take for granted. Akhir-akhir ini banyak juga yang menuliskan tentang fenomena seakan-akan generasi saya ini berlomba-lomba untuk bisa kuliah S2, tidak ada yang salah dengan opini itu karena bisa jadi itu benar (tetapi insya Allah saya tidak termasuk salah satunya hehe). Menurut saya wajar saja jika terkesan seperti itu, karena semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, rasa ingin tahu juga bertambah mungkin secara tidak langsung generasi saya ini merasa butuh untuk belajar lagi. Di samping itu, ada beberapa yang bertanya ke saya tentang kuliah S2, saya akan mencoba menjawab dari perspektif saya.



Susah nggak kuliah S2? Apa bedanya dengan kuliah S1?
Susah atau tidaknya mungkin bergantung dengan jurusan dan mata kuliah yang diambil ya, saya pribadi merasa tidak begitu kesulitan mengikuti perkuliahan walaupun jurusan S2 saya tidak linear dengan jurusan S1, alhamdulillah. Tetapi tidak berarti tidak ada kesulitan, saya juga banyak menemui kesulitan, hanya saja masih bisa di-catch-up dengan memperbanyak baca, bertanya-tanya, dan tentu saja googling!

Saya termasuk yang mempercayai bahwa tujuan pendidikan tinggi (S1, S2, S3) itu tidak hanya berfokus pada pengembangan bidang keilmuan tertentu saja, tetapi pada perkembangan pola pikir. Di S1 kita diharapkan untuk dapat berpikir sistematis, ilmu yang disampaikan juga sifatnya aplikatif, sehingga ketika lulus dapat membantu menyelesaikan masalah di masyarakat dengan menemukan solusi yang rasional serta mampu menerapkannya. Sedangkan di S2, ilmu yang disampaikan sifatnya filosofis, yang diharapkan dari jenjang S2 adalah berpikir analitis, mampu merumuskan segala hal di balik permasalahan yang ada, dilihat dari keluaran penelitian (tesis), jenjang S2 memerlukan kajian yang lebih mendalam tidak sekedar menghubungkan teori-teori yang sudah ada.

Jika kuliah S1 dosen memberikan materi yang sangat teoritis, di S2 dosen mungkin akan jarang memberikan catatan-catatan atau materi untuk dihafalkan/dipahami/dicatat, akan lebih banyak diskusi membahas isu-isu yang sedang terjadi, contoh-contoh kasus, dan sebagainya, sebagai mahasiswa tugas kita mencari teori atau topik apa yang sebenernya sedang dibicarakan. Kuliah S2 akan lebih banyak mengharuskan kita mencari tahu sendiri tentang fokus kajian/penelitian kita sendiri. Menurut saya, kuliah S2 seru banget karena selalu mendapatkan insight baru setiap harinya! Kalau senang belajar dan meneliti, studi S2 juga akan menyenangkan untuk kamu.

Lebih baik langsung S2 atau kerja dulu?
Sejujurnya untuk pertanyaan ini saya tidak tahu jawaban yang tepat, yang bisa menjawab adalah diri masing-masing, ini dapat disesuaikan dengan rencana hidup/karir yang kita miliki, setiap orang pasti memiliki prioritas dan tujuan yang berbeda. Lagi-lagi menurut pandangan saya, akan lebih nyaman belajar di S2 ketika sudah memiliki gambaran tentang keilmuan (yang dipelajari) di lapangan, minimal 1-2 tahun pengalaman kerja cukup memberikan gambaran bagaimana keilmuan anda diaplikasikan di lapangan. Mungkin akan beda kondisinya jika ingin menjadi akademisi atau peneliti, pengalaman penelitian dan menulis jurnal akan lebih membantu. Jadi, sebelum memutuskan mungkin ditanyakan ke diri sendiri untuk apa mengambil kuliah S2? Apa tujuannya? Apakah suatu kebutuhan? Kalau jawabannya sebatas keinginan juga tidak salah kok, tapi pasti keinginannya beralasan kan? :)

Saya juga termasuk yang percaya bahwa kuliah S2 bukan untuk semua orang, maksud saya disini adalah ada orang-orang yang memang tidak membutuhkan S2, mungkin dia lebih butuh pelatihan untuk sertifikasi, mentoring atau inkubasi (untuk bisnis) dan sebagainya. Menempuh pendidikan tinggi secara formal juga tidak menjadikan kita lebih pintar dari yang tidak S2, jadi ada benarnya ketika di lapangan, pengalaman kerja memiliki memiliki bobot nilai lebih tinggi. Maka akan lebih baik ketika sudah lulus S2, tidak lagi bersaing mencari kerja melainkan sudah memiliki rencana akan berkarya/berkontribusi dimana.

Kalaupun ada yang ingin S2 karena senang belajar, duduk di kelas, mendengarkan, menemukan hal baru juga tidak salah, mungkin kesenangan itu akan membawa pada sesuatu yang belum terpikir sebelumnya. Kita tidak harus melulu sama dengan standar orang-orang, asalkan kita dapat bertanggung jawab dengan pilihan-pilihan yang kita buat. Semangat ya!

Semoga dapat membantu mencerahkan kegalauan, silakan ditambahi jika ada yang kurang, atau dikoreksi jika ada yang salah, kalau menurut kalian kenapa kita harus kuliah S2? Silakan tinggalkan komentar!

15.11.17

Pendidikan Abad 21 dan Literasi Media

Semakin pesatnya perkembangan teknologi, terutama dalam empat dekade terakhir sejak ditemukannya teknologi internet menyeret percepatan dalam semua aspek kehidupan. Globalisasi menjadi salah satu dampaknya tidak hanya dalam hal teknologi, terasa juga dampaknya dalam aspek sosial, ekonomi, budaya dan pendidikan. Pertukaran informasi dan pengetahuan sudah menembus batas geografis, perubahan ini menciptakan kebutuhan akan produksi dan proses informasi yang lebih kompleks.

Pada tahapan selanjutnya dibutuhkan pengetahuan yang luas, kemampuan analisis dan berpikir kritis sebagai bekal memahami pola komunikasi media baru dalam memproduksi bentuk, isi dan makna. Kiranya begitu ramalan akan tantangan Abad 21, dan semakin hari fenomena media semakin mendekati ramalan tersebut atau bahkan melampaui dari yang diramalkan. Salah satunya fenomena yang makin nampak adalah kesulitan menyaring informasi pemberitaan palsu (hoax). Tantangan ini sudah semestinya mendorong dunia pendidikan melakukan inovasi untuk membekali generasi ke depan menjadi melek media.

Pendidikan Abad 21 
Pendidikan Abad 21 menjawab tantangan tersebut dengan konsep belajar yang menjamin siswa terampil dalam berinovasi (berpikir kritis, kreatif dan kemampuan kolaboratif), menggunakan dan memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi, dan memiliki keunggulan karakter (life skills). Tiga aspek utama dalam Pendidikan 21 ini yang kemudian menjadi acuan dan diadopsi oleh sistem-sistem pembelajaran di seluruh dunia, termasuk di Indonesia melandasi pengembangan kurikulum 2013. 

Pendidikan Abad 21 meliputi banyak elemen pendidikan, dengan tujuan tiga kemampuan utama yang salah satunya adalah Kemampuan Teknologi dan Media Informasi. 
Dimensi Information, Media and Technology di dalamnya meliputi: literasi informasi (information literacy),  literasi media (media literacy), dan literasi TIK/Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT literacy) dideskripsikan seperti pada tabel berikut:

Keterampilan Abad 21
Deskripsi
Keterampilan Teknologi dan Media Informasi
 1. Literasi informasi: siswa mampu mengakses informasi secara efektif (sumber nformasi) dan efisien (waktunya); mengevaluasi informasi yang akan digunakan secara kritis dan kompeten; mengunakan dan mengelola informasi secara akurat dan efektf untuk mengatasi masalah.

 2. Literasi media: siswa mampu memilih dan mengembangkan media yang digunakan untuk berkomunikasi.

 3.  Literasi TIK: siswa mampu menganalisis media informasi; dan menciptakan media yang sesuai untuk melakukan komunikasi



Literasi Media
Berpegangan pada dimensi Keterampilan Teknologi dan Media Informasi yang dideskripsikan oleh Trilling dan Fadel, salah satunya mencakup kemampuan literasi media. Dalam buku Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah (2016), literasi media adalah pengetahuan tentang berbagai bentuk media, seperti media cetak, media elektronik (radio dan televisi), media digital (media internet) dan memahami tujuan serta penggunaannya. Tentu saja, tidak hanya sampai disana siswa juga harus mampu mengindentifikasi perbedaan antara fakta dan opini, fiksi dan non-fiksi, antara hiburan, informasi dan persuasi.

Urgensi membekali siswa dengan kemampuan literasi media menjadi sangat penting untuk mengimbangi arah perkembangan media saat ini. Ada hal yang jarang dipertimbangkan oleh orang dewasa sebagai pendidik, bahwa semua media kini dioperasikan dan dikendalikan oleh pemilik modal terbesar, pemilik perusahaan besar, dimana secara tidak langsung memberi tahu kita apa yang harus dipercaya, apa-apa yang penting, siapa yang harus dipilih, apa yang harus dibeli, bagaimana seharusnya mengekspresikan perasaan menurut versi mereka. Apabila hal ini disepelekan dan membiarkan generasi selanjutnya dengan seolah-olah tidak ada yang salah, akan mengarah kepada sistem budaya masyarakat yang reaktif, mudah tergiring oleh berbagai isu dan cenderung bertindak tanpa berpikir terlebih dahulu. Kenyatannya, tidak ada aturan atau sistem norma yang mengatur untuk bersosialisasi di dunia digital selain individu itu sendiri (Saidi, 2017). disinilah letak pentingnya mengajarkan literasi media agar mereka dapat mengetahui bahwa setiap informasi memiliki sumber, dan mampu mengetahui sudut pandang sumbernya.

Mengacu pada definisi Literasi Media yang dirumuskan pada The National Conference on Media Literacy Aspen Institute December 1992, “It is the ability of a citizen to access, analyze, and produce information for specific outcomes.” (dalam Silverblatt, dkk., 2014). Ada tiga dimensi utama terkait dengan literasi media, yaitu mengakses, menganalisis dan menghasilkan informasi. Ketiga dimensi ini yang kemudian mendasari perancangan kegiatan pembelajaran di sekolah untuk disesuaikan dengan tingkatan satuan pendidikan. Kemampuan literasi media sangat relevan untuk ditanamkan pada siswa di era arus informasi yang sangat terbuka saat ini. Sedangkan kemampuan paling mendasar dari literasi media adalah berpikir kritis, siswa memiliki kebebasan untuk memilih informasi, bukan alih-alih kita menyuguhkan mana yang harus mereka terima melainkan bagaimana memberikan stimulus agar mereka dapat berpikir sebelum menentukan “informasi apa yang saya butuhkan? Media apa yang harus saya pilih untuk mendapatkan informasi tersebut?” atau ketika mereka menerima berbagai macam informasi dari media massa tidak serta merta mereka terima begitu saja, karena mereka mengetahui ada aspek lain yang mempengaruhi bagaimana informasi tersebut dibuat.

Jadi, sejauh mana Literasi Media sudah ada dalam pendidikan kita? Seberapa penting (urgensi) penerapannya dalam pendidikan praktis?


2.4.13

Pendekatan Sistem Penilaian


Penilaian Acuan Patokan (PAP) atau disebut juga sebagai penilai norma absolut. Dimana pendekatan ini melakukan penilaian dengan membandingkan hasil yang diperoleh peserta didik dengan sebuah patokan atau kriteria yang telah ditetapkan guru secara mutlak atau absolut. Guru yang akan menggunakan PAP sudah dapat menyusun pedoman konversi skor menjadi skor standar yang akan dijadikan patokan, sebelum kegiatan evaluasi dimulai.

Penilaian Acuan Norma (PAN) adalah pendekatan penilaian dengan membandingkan skor setiap peserta didik dengan teman satu kelasnya. Nilai angka maupun kualifikasi yang didapat dari pendekatan penilaian ini bersifat relatif. Sehingga pedoman konversi skor yang disusun untuk suatu kelompok tidak berlaku untuk kelompok yang lain, karena distribusi skor peserta didik sudah berbeda.

Pendekatan manakah yang lebih cocok digunakan untuk kriteria kelulusan siswa di sekolah?

Sedangkan yang lebih cocok digunakan untuk kriteria kelulusan siswa di sekolah adalah Penilaian Acuan Patokan (PAP). Karena pendekatan ini dapat menggambarkan hasil belajar secara objektif apabila menggunakan alat ukur standar, hasil pengukuran pendekatan ini dapat dipertahankan ketetapannya dari waktu ke waktu dalam kelompok yang sama atau berbeda. 

Guru yang sudah melakukan langkah-langkah untuk menentukan skor ideal, mencari rata-rata dan simpangan baku ideal, kemudian menggunakan pedoman konversi skala nilai akan menghasilkan patokan sebagai acuan ideal untuk hasil belajar peserta didik sebagai syarat kelulusan. 


Konsep Dasar Evaluasi, Penilaian, Pengukuran dan Tes


Evaluasi adalah suatu proses untuk menggambarkan peserta didik dan menimbangnya dari segi nilai dan arti. Sasaran dari proses ini adalah sebuah sistem, dan dapat menggunakan komponen eksternal sistem dalam pelaksanaanya. Sedangkan sifat dari hasil evaluasi adalah kualitatif yang bertujuan untuk menentukan nilai.

Penilaian merupakan suatu kegiatan yang sistematis dan berkesinambungan untuk memberikan berbagai informasi menyeluruh tentang proses dan hasil belajar peserta didik dalam rangka membuat keputusan-keputusan berdasarkan kriteria dan pertimbangan tertentu. Penilaian tidak hanya ditujukan pada penguasaan salah satu bidang tertentu saja, tetapi mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai. Sasaran dari proses penilaian adaur suatu aspelah salah satu atau beberapa komponen dari dalam sistem, dan pelaksaanannya dilakukan oleh komponen dalam sistem. Seperti evaluasi, sifat dari hasil penilaian adalah kualitatif yang bertujuan untuk menentukan nilai.

Pengukuran adalah suatu proses atau kegiatan untuk menentukan kuantitas ‘sesuatu’, yang dalam konteks pembelajaran dapat berarti peserta didik, guru, gedung sekolah, meja belajar, dan sebagainya. Berbeda dengan evaluasi dan penilaian, sifat dari hasil pengukuran adalah kuantitatif yang bertujuan untuk menentukan jumlah. Pada pelaksanaannya, proses ini dilaksanakan dengan menggunakan instrumen yang telah distandarisasi.

Tes adalah suatu alat yang berisi serangkaian tugas yang harus dikerjakan atau soal-soal yang harus dijawab oleh peserta didik untuk mengukur suatu aspek perilaku tertentu. Tes pula merupakan salah satu alat yang digunakan dalam evaluasi untuk mengumpulkan data.


31.3.13

Teori; Karakteristik & Fungsi

Teori merupakan suatu set atau sistem pernyataan (a set of statements) yang menjelaskan serangkaian hal. Sifat ketidak-sepakatannya terletak pada karakteristik pernyataan tersebut. Berikut tiga karakteristik utama sistem pernyataan suatu teori:

  • Unifying Statement; pernyataan suatu teori bersifat memadukan. Dengan mempersatukan pernyataan yang sependapat dan mempunyai tujuan yang sama.
  • Universal Preposition; pernyataan suatu teori berisi kaidah-kaidah umum, yang mempunyai pernyataan menjlaskan, bersifat umum dan dapat diterima oleh semua kalangan.
  • Predictive Statement; pernnyataan suatu teori bersifat meramalkan atau memprediksi, yang berarti pernyataan dari suatu teori bersifat perkiraan atau prediksi yang dapat berubah sesuai penyesuaian.
Sehingga suatu teori memiliki fungsi:
  1. Mendeskripsikan pernyataan secara umum dengan memaparkan suatu masalah praktis yang dapat mewakilkan sesuatu yang dibahas dan dapad diterima semua kalangan.
  2. Menjelaskan suatu masalah kompleks menjadi spesifik dan mencapai hal-hal detail sehingga menjadi lebih jelas sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku.
  3. Memperkirakan bagaiman cara memecahkan masalah yang kompleks berdasarkan cara berfikir ilmiah.


27.2.13

Setujukah Anda Dengan Ujian Nasional?


Tidak. Karena Ujian Nasional terkesan bersifat absolut. Kelulusan hasil belajar selama tiga (enam) tahun ditentukan oleh satu kali ujian, dan fokus pembelajaran bukan lagi suatu perubahan tingkah laku tetapi lulus Ujian Nasional.

Karena citra atau momok ujian nasional yang menyeramkan dan tegang, selalu saja ada yang belum siap untuk menghadapi ujian nasional secara fisik maupun mental. Menjadikan hasil ujian nasional tidak selalu hasil maksimal dari setiap peserta. Sehingga dinilai ujian nasional belum dapat memberikan gambaran menyeluruh tentang mutu pendidikan di Indonesia.

Ada perubahan tujuan pembelajaran secara tersirat, yang seakan-akan menjadikan ujian nasional sebagai tujuan dari pembelajaran selama bertahun-tahun, menjadikan peserta didik terbuai dengan keberhasilan semu berupa angka-angka hasil ujian nasional. Ini juga menimbulkan masalah, ilmu atau materi yang diberikan di kelas tidak berkembang, guru akan mengacu pada soal yang akan keluar pada ujian nasional. Padahal anak Indonesia dapat melakukan dan mengembangkan kemampuannya lebih dari sekadar bisa mengerjakan ujian nasional dan lulus.

Dengan adanya ujian nasional untuk anak-anak yang mempunyai masalah dalam daya tangkap yang kurang dari rata-rata, menimbulkan rasa pesimis karena menyadari akan kesulitan belajarnya. Guru pun akan fokus pada perkembangan anak terhadap kemampuannya mengerjakan soal-soal ujian nasional, sedangkan guru mempunyai kewajiban terhadap anak dengan daya tangkap rendah untuk membimbing sampai ia mengerti terhadap setiap materi.

Akan ada dua kerugian yang timbul terhadap anak tersebut, kurangnya penguasaan materi setiap pelajaran tetapi ia dapat mengerjakan soal ujian nasional. Atau akibat dari rasa pesimis yang menimbulkan untuk berbuat kecurangan. Dari kasus tersebut terlihat menimbulkan permasalahan baru akan adanya kecurangan, ini juga menjadi tanda ketidakberhasilan suatu pembelajaran: tidak adanya perubahan tingkah laku.

Bahwa diatas angka semu sebagai nilai ada penilaian yang lebih penting dari itu, yang menentukan suatu kualitas atau mutu pendidikan, yakni penanaman karakter yang baik sebagai hasil dari pembelajaran.

telah diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah evaluasi pembelajaran

Realita dan Hebatnya Profesi Guru

Ini sedikit hal yang sempat terlintas di pikiran saya saat di tengah-tengah perkuliahan hari ini, tepatnya di kelas mata kuliah Evaluasi Pembelajaran. Bahasan hari ini tentang Prosedur Pengembangan Evaluasi Pembelajaran, yang sedikit menyinggung salah satu instrumen dari evaluasi pembelajaran yakni soal. Ya, pembuatan soal. 

Dosen saya hari itu menjelaskan pengalamannya membuat dan menganalisis kualitas soal. Dari cerita beliau yang saya tangkap bahwa membuat soal yang berkualitas dengan kadar kesulitan sekian dengan perbandingan bla bla bla sekian itu bukan sebuah hal mudah. Atau mungkin sama sekali tidak mudah. Kemudian jika seseorang dapat melakukan sebuah hal yang tidak mudah, bukan kah berarti hebat? 

Ada beberapa kata-kata menarik yang keluar dari beberapa dosen saya, 
"Kurikulum itu emang keliatan gampang hanya seperti menempel mata-mata pelajaran" 
"Saya pernah mengisi pelatihan guru, ketika para guru diminta untuk membuat RPP dan saya periksa ternyata hanya berbeda cover, isinya copas (read. copy-paste) semua"
"Kalian akan belajar bagaimana menyusun Kurikulum, SK, KD dan RPP kalian akan tahu kalau itu nggak mudah"
"Membuat soal itu bukan seperti membuat pisang goreng, yang bisa cepat, jadi dan langsung bisa dimakan"
Saya bisa mendapatkan sedikit gambaran bahwa ketika kita harus melakukan semua itu, sangat tidak mudah. Kita tahu kurikulum, RPP, soal, penilaian raport itu dekat sekali dengan profesi guru, dan mungkin tidak hanya dekat tetapi menjadi komponen yang wajib dikerjakan oleh seorang guru.

Saat itu saya tahu bahwa menjadi guru bukan benar-benar hal yang mudah. Di luar kesiapan mental menghadapi siswa, di luar lelah untuk menjelaskan pelajaran, di luar masalah daya tangkap siswa bahkan jauh di luar permasalahan-permasalahan (pribadi) yang seorang guru miliki sebagai individu. Guru sudah menjadi profesi yang tidak mudah.

Bisa bayangkan guru itu sebenarnya tidak hanya sekadar mengajar, dia memiliki banyak tanggung jawab akan siswanya di balik berdirinya ia di kelas. Seharusnya

Guru harus menyusun indikator dan rencana pembelajaran, membuat soal, mengisi raport, dan banyak lagi. Belum lagi gurunya sudah berkeluarga, punya tanggung jawab mengurus anak, mengatur tagihan listrik, hutang, tetapi ia harus tetap tampil di depan siswanya sebagai sosok yang 'bisa mengatasi segalanya'.

Profesi guru merupakan profesi yang menciptakan profesi-profesi lainnya. Realitanya profesi guru tidak dianggap 'sehebat itu' atau bahkan terlihat 'nggak banget'. Sekarang ini profesi guru tidak lagi menjadi profesi ideal yang di cita-citakan anak sekolah. Kenapa? Realita.

Realitanya memang para guru tidak menjadikan profesinya 'sehebat itu'. Melihat quote kedua dari salah satu dosen saya sebelumnya, para guru terkesan menganggap mudah profesinya. Tidak membuat rencana pembelajaran, tidak  memperhatikan sejauh mana perkembangan siswanya -hanya sekedar 'yang penting saya sudah menyampaikan materi', membuat soal semalam sebeum ujian atau bahkan saat hari H ujian, dan lain-lain.

Saya pikir profesi guru semestinya tidak menjadi profesi sampingan, dianggap mudah, dapat dilakukan ketika waktu luang dan santai sesuai mood. Profesi guru haruslah menjadi profesi utama yang dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan dedikasi.

Tidak berarti dengan kondisi profesi guru saat ini adalah alasan untuk tidak menghormati guru. Saya hanya berusaha menuangkan hasil pemikiran, bahwa hebatnya profesi guru itu runtuh dengan para pemegang profesinya sendiri. Saya yakin tidak semua guru seperti itu, tapi saya berdoa untuk tidak satu pun ada yang seperti itu di keesokan hari. Tidak juga saya.

Mau bagaimanapun ini hanya catatan hasil perkuliahan mahasiswa tingkat satu. Terima kasih